masak

Jumat, 25 Juni 2010

Pindah Blog

Untuk Cerita bersambung Lainnya mulai tanggal 26 Juni selanjutnya hanya akan di posting di www.rangkaiankata2.wordpress.com
Cek di blog tersebut ya, banyak cerita seru lainnya lho..!

terima kasih.

Rabu, 23 Juni 2010

RB-Bagian Sembilan Belas

Dinda membuka matanya perlahan. Selang oksigen dan alat pembantu pernapasan masih terpasang di hidung dan mulutnya. Dipandangnya dinding rumah sakit yang putih dan wajah orang – orang yang berdiri di sekeliling tempat tidurnya. Semua wajah itu memandangnya dengan tatapan cemas. Dinda memandang wajah itu satu persatu. Ayahnya menggenggam tangan gadis itu dengan erat dan bekas air mata yang belum mengering. Wajah Pram tampak pucat seperti kapas. Lalu mata Dinda beralih pada wajah lainnya. Fery, tante Tari yang sedang memeluk Anggi yang kini mengucurkan air mata, serta.. teman – teman se-Gank-nya, Desi, Mia, dan Selly!
“Din, maafin kita semua, ya? Seharusnya kita tetap dampingin elo, bantuin elo untuk melewati semua ini.. seandainya saja kita nggak ninggalin elo.. pasti semuanya nggak akan begini.. ” Mia menggenggam tangan Dinda. Matanya dipenuhi oleh butir – butir bening air mata dan memancarkan rasa penyesalan yang amat sangat.
Dinda hanya mengangguk lemah sebagai jawaban. Hati Mia, Selly, Desy dan Anggi semakin teriris – iris. Ketiganya tak mampu menahan rasa sedih mereka dan menahan isak tangis.
Tiba – tiba suasana yang beku itu dicairkan oleh suara dari arah pintu. Dokter Frans!
“Bapak Pram, nyonya Tari..” panggilan dokter mengagetkan semua yang hadir di ruangan itu. Tanpa banyak bertanya, Pram dan Tari segera mengikuti isyarat dokter yang bernama Frans itu menuju ruangannya.
“Begini pak, ibu Tari.. kami tetap akan berusaha semampu kami, tapi kami juga tidak mau membohong bapak dan ibu tentang keadaan Dinda, ini adalah saat – saat yang sulit..” Dokter Frans membuka perbincangan.
“Memangnya keadaan Dinda bagaimana Dokter?” tanya Pram cepat.
“Tubercolosis sebenarnya penyakit yang bisa diobati dan pemerintah sendiri sebenarnya menyiapkan pengobatan gratis untuk penyakit ini. Kalau pasien bisa mengikuti pengobatan menurut semestinya, Insya Allah akan sembuh. Cuma, kebanyakan pasien biasanya tidak tahan karena pengobatan yang membutuhkan waktu yang panjang, sehingga banyak yang putus berobat.. dan akibatnya kumat tebece jadi kebal terhadap obat – obatan.. Dan itulah yang dialami Dinda yang putus berobat berkali – kali dan sudah terbilang parah dan sudah mengeluarkan batuk darah.. serta tebece tidak lagi hanya menyerang paru – parunya, tapi juga telah menyerah organ – organ lainnya.. dan juga mungkin karena selama ini ia kurang istirahat, kami menemukan ada pendarahan bagian organ dalamnya, untuk itu kami masih harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dan ini,“ Dokter itu menunjuk hasil roentgen di layer proyektor di sampingnya,” Anda lihat kan? Dalam roentgen Thorax, tulang yang padat akan terlihat putih, sedangkan udara akan terlihat hitam.. tapi ini, lihatlah! Bayangan putih di mana – mana, itu artinya ada infeksi di mana – mana, dan juga undara yang tersimpan di paru – parunya sangat sedikit.”
“Berapa persen kemungkinan akan sembuh dok?” tanya Pram dengan penuh harap dan rasa takut.
“Ada, tapi sangat kecil kalau tidak segera ditangani.. sementara ini kami sudah memberi obat – obat yang mungkin akan membantu, tapi kami sendiri tidak yakin.. obat – obat itu hanya untuk sementara.. apalagi, kemungkinan pasien punya asma dan penyakit lainnya.. tapi, kami bukan tuhan yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang, karena itu kita semua harus berdoa.”
Pram dan Tari menarik napas dalam – dalam. Semua terdiam.
“Maaf, Dokter…”
Suara lain di belakang mereka membuat ketiganya menoleh. Kaget. Ryan berdiri di sana.
“Ryan? Kok kamu bisa ke sini?” tanya Pram spontan.
“Maaf, apakah anda ada perlu dengan pak Pram atau Ibu Tari?” potong dokter Frans.
“Nggak, dokter. Saya Ryan, Nngg.. temannya Dinda. Ngg.. Maaf, sebenarnya saya sudah sejak tadi mendengar pembicaraan dokter di sini, hm.. saya Cuma menyampaikan informasi yang saya dapat.”
“Tentang apa?”
“Saya baca di internet, dan ternyata ada rumah sakit pertama yang didirikan oleh WHO dan pemerintah Latvia yang khusus menangani pasien putus berobat dan pasien yang terbilang cukup parah.”
“Oh, ya.. saya juga tahu hal itu, waktu pengobatannya cukup singkat dan memang saya tadinya akan menyarankan itu. Dan untuk pengobatan lainnya pun mungkin akan lebih baik di sana. Bagaimana pak, bu?” dokter Frans berpaling pada Pram dan tante Tari. Pram dan Tari menghela napas pasrah, seperti tak ada pilihan.
“Ngg.. tapi..” Ryan tiba – tiba tampak ragu.
“Tapi apa?” tanya Pram dan Tari serentak. Cemas.
“Saya juga dapat informasi kalau ternyata biayanya seratus kali lipat berobat biasa…”
“Itu benar.” Dokter Frans mengangguk mengiyakan.
“Saya akan bantu, dokter..” ucap tante Tari tiba – tiba, mengejutkan Pram dan Ryan. Tari mengangguk meyakinkan ketiga orang itu. Pram dan Ryan memandang Tari dengan tatapan terima kasih yang tak bisa digambarkan dengan kata- kata. Haru semerbak mewangi di ruangan itu seketika.

…………………

Fery masih termagu sendirian di samping tempat tidur Dinda. Matanya terus memandangi Dinda yang tertidur pulas. Hatinya masih terasa was-was, walaupun sejak beberapa saat yang lalu gadis di depannya itu tak lagi membutuhkan alat bantu pernapasan. Hatinya terasa pedih, begitu mengingat apa yang terjadi selama ini.
“Fer, Zahra..”
Fery dan Zahra yang sedari tadi membisu terlonjak kaget. Terlebih lagi melihat Dinda yang ternyata kini telah terbangun.
“Kok pada bengong? Mana.. yang lainnya?”
“Eh, em.. itu.. “ Fery gelagapan, “Temen – temen kamu udah pulang, waktu kamu tidur tadi, trus ayah kamu sama mamaku masih di ruang dokter..”
“Ra, Ryan udah datang ya?” tanya Dinda dengan suara lemah. Wajah terlihat semakin pucat, seputih kapas.
“Udah kak, maaf, Zahra terpaksa kasih tahu kak Ryan, tadi pas dia datang kakak lagi tidur, sekarang dia lagi ke ruang dokter.” Jawab Zahra agak cangung.
“Kamu nggak ngasih tau kan, Fer tentang apa yang terjadi?”
“Belum sempat, Din..”
“Ada apa sih kak?” Tanya Zahra penasaran.
Dinda tak menjawab, matanya terlihat berkaca – kaca. Zahra tak berani bertanya lebih jauh lagi.
“Tolong jangan kasih tau apa-apa ya? Janji ya, Fer?” pinta Dinda.
Fery mengangguk. Hatinya terasa teriris – iris dan sedih, “udah, Din.. kamu nggak usah mikirin apa – apa dulu, yang penting kamu bisa sembuh, ok? Oh, ya.. tadi Selvy telpon, dia titip salam buat kamu..” bujuk Fery.
“Iya.. makasih ya, kalian udah nungguin aku..”
“Seharusnya aku yang makasih, Din.. kamu nggak benci sama aku, padahal aku udah nyakitin hati kamu..” Fery tertunduk. Hatinya diliputi rasa bersalah. Dinda tersenyum.
“Udahlah, jangan diungkit lagi, semua ini bukan salah siapa – siapa. Lagipula aku senang sekarang, semua udah kembali kayak semula, teman – teman.. ayah.. kamu.. juga Ryan.. aku udah tenang sekarang, Fer.. kalaupun aku harus pergi..”
Fery dan Zahra tak tahan mendengar ucapan Dinda. Fery memalingkan mukanya. Air mata mulai mengalir dari sudut matanya. Zahra reflek menyilangkan jarinya di bibir Dinda, menyuruh gadis itu menghentikan ucapannya, “Kak, please.. jangan bilang begitu, kakak pasti sembuh! kakak akan sembuh.”
“Benar, Din.. “
Terdengar suara dari arah Pintu ruangan yang terkuak.
“Ryan? Ayah? Tante Tari?” ucap Dinda.
“Ya, nak, besok kita akan berangkat ke Latvia..” jelas Pram. Dinda menatap ayahnya dengan bingung.
“Buat apa, yah?”
“Ya, buat berobat laah, masak mo piknik!” celetuk Ryan.
Dinda tersenyum, lalu “Trus, biayanya..?”
Pram dan Ryan tidak segera menjawab. Keduanya hanya memandang Tari dan mengedipkan mata sebagai isyarat. Dinda segera mengerti.
“Makasih ya, tante. Maaf, Dinda merepotkan..” tante Tari mengangguk, Dinda lalu berpaling pada Pram, “Ayah, Dinda mau bicara berempat dengan ayah, Zahra dan Ryan.” pinta Dinda
Pram bingung. Semua yang hadir di ruangan itu segera menyingkir, lalu melangkah ke luar ruangan dengan wajah mengerti, walaupun wajah mereka diliputi rasa ingin tahu.
“Ayah, ayah nggak akan menuntut Anggi kan?”
“Nggak, sayang. Ayah udah maafkan semuanya.”
“Ayah, kalau boleh, Dinda punya satu permintaan sebelum Dinda dibawa kesana” ucap Dinda. Pram memandang Dinda bingung.
“Permintaan apa, Din?” tanya Pram.
“Dinda.. Dinda ingin ayah mau bertemu dengan seseorang..” ucap gadis itu sembari berpaling pada Ryan. Ryan balas mengangguk.
“Siapa?”
Dinda berpikir sejenak, lalu dikuatkannya hati mengatakan hal itu, “Tante.. tante Sintya.” Jawabnya pendek. Wajah Pram langsung diliputi rasa terkejut.
Di sisi lain, Ryan dan Zahra memandang Dinda dengan tak kalah terkejut. Dinda balas menatap mereka dengan wajah memohon agar kedua kakak beradik itu mengerti.
“Yan, sudah saatnya semua rahasia ini dibongkar.” Gumam Dinda pelan. Ia memberi isyarat agar Ryan mendekat.
“Din, aku…” ia berusaha membantah, tapi akhirnya ia menyadari kebenaran kata-kata gadis itu. tak ada lagi yang harus dirahasiakan, jangan adalagi teka – teki!
Dinda berpaling pada Pram, “Yah, maaf Dinda menyelidiki ini sendiri dan tak memberitahu ayah tentang semua yang sudah Dinda ketahui selama ini.. ini Ryan, anaknya tante Sintya. Dan ini.. “ Dinda berpaling pada Zahra yang sedari tadi menunduk cemas.”Ini anak.. anak ayah..” Dinda mengucapkan kata-kata terakhir itu dengan penuh ragu – ragu.
Zahra tak berani menengadahkan mukanya. Wajah itu berubah seputih kapas. Pram apalagi. Ia terperanjat kaget, “Apa?! kamu bilang apa, Din?”
“Ya, ayah. Dinda.. Dinda menemukan photo tante Sintya dan ternyata.. dia adalah ibu dari Ryan dan Zahra, yang selama ini menemani Dinda, menjaga ayah..”
“Benarkah itu, Din? Ryan? Zahra”
Ketiganya langsung mengangguk menjawab pertanyaan itu. lalu ia memandang Dinda, Zahra dan Ryan secara bergantian. Tanpa diduga ia menghambur memeluk anak itu, memeluk Zahra, lalu memeluk Ryan.
“Ya Allah, terima kasih telah mempertemukan kami kembali…” air mata menetes dari sudut mata Pram. Dinda memandang pemandangan dengan perasaan haru.
“Kapan ayah mau menemui tante Sintya?” sela Dinda.
Pram melepaskan pelukannya, matanya memandang ketiga anak yang kini berdiri di depannya secara bergantian,”Ayah… ayah..” Pram tak dapat melanjutkan kata – katanya.
“Kenapa Yah?”
“Beri ayah waktu..” gumam laki – laki setengah baya itu lirih. Matanya menerawang sedih. Ryan segera memapahnya duduk di kursi di samping tempat tidur Dinda.
Semua menghela napas panjang.

……………………..

Sintya sedang duduk di kursi ruang tengah. Sebuah majalah tergeletak di depannya. Ia membolak – balik kertas itu dengan malas, seperti bosan dan capek. Tiba – tiba…
“Tok! Tok! Tok! Assalamu’alaikum…”
Suara ketukan pintu dan sebuah suara yang amat dikenalnya membuat ibu satu anak itu menoleh, “Wa’alaikumussalam” jawabnya, lalu beranjak menuju ruang tamu.
Namun sesaat kemudian langkahnya terhenti. Ia terpaku menatap orang – orang yang datang bersama Ryan. Mereka tak lain adalah Dinda dan.. Pram!
Ryan segera menyalami wanita itu, diikuti oleh Dinda, sedangkan Pram masih terpaku di depan pintu dengan mata tak berkedip dan rasa tak percaya dengan apa yang disaksikannya.
“Ibu.. maafkan Ryan. Ini..,”Ryan berpaling pada Pram,”Ibu.. ibu belum lupa bukan?”
Wanita itu tak bergeming dan seperti tak mendengar apa yang dikatakan Ryan. Matanya menatap lurus ke depan. Menatap Pram.
“Mas..” ucapnya dengan bibir gemetar.
“Sintya? Saya.. saya mencarimu kemana – mana…”
“Maafkan saya, mas…”
Dinda dan Ryan tak ingin menggangu suasana itu. Keduanya lalu segera menyingkir ke ruang tengah, membiarkan kedua orang yang baru bertemu itu.
Pram mendekati Sintya, “Saya.. Tyas..”
“Maafkan saya, mas. Saya pergi karena saya tak ingin merusak keluarga mas.. tapi, saya tak tahu kalau Tyas.. ah, saya tak tahu Tyas sudah meninggal.. sampai saya mendengar kata – kata yang diucapkan Dinda waktu acara sekolah itu.. saya benar – benar kaget..” Sintya mengucapkan kata – kata itu dengan mata berkaca-kaca. Perasaannya hancur berkeping – keping.
“Kamu tidak salah, saya yang salah.. saya yang melibatkan kamu dengan semua masalah ini.. saya yang tak berhasil menemukanmu..”
“Mas, jangan bilang begitu.. tak ada lagi yang harus disalahkan sekarang..”
Keduanya lalu beradu pandang, ada secercah kesedihan, kehilang dan kebahagiaan yang terpancar di sana.
“Mereka… “ Pram menunjuk Ryan dan Dinda yang memandang mereka dari kejauhan.
Sintya mengangguk, “Ya, mereka adalah anak – anak kita, anak – anak yang manis..” Gumamnya.
“Ya, rahasia Tuhan memang tak bisa kita duga.. “Ucapan syukur mengalir dari mulut Pram. Keduanya mengucapkan syukur tiada henti.

………………………..

Bandara Sukarno Hatta, dua hari kemudian…
Dinda membetulkan kain selendang yang menutupi kepala dan rambut panjangnya dengan rapat. Wajahnya yang pucat tertutupi oleh serinya. Empat orang gadis sebayanya bergantian memeluknya. Mereka adalah keempat sobat Dinda. Anggi menyerahkan handphon mungilnya kepada Dinda. Gadis itu menerimanya dengan senang.
“Makasih ya, semuanya..” jawab Dinda lirih.
Dinda langsung memeluk erat Anggi, Mia, Selly dan Desi, para sahabatnya sekali lagi, dengan perasaan bahagia bercampur sedih. Bahagia, karena semuanya sudah kembali seperti semula, sedih karena akan berpisah dan belum tentu akan bertemu kembali. Anggi, Mia, Selly dan Desy membalas pelukan Dinda. Kelima gadis itu tak kuasa untuk tidak meneteskan air mata.
“Ayo, anak–anak, kita harus pergi sekarang.” Pram menyadarkan mereka akan waktu yang semakin sempit.
Anggi Cs segera melepaskan pelukan mereka. Dinda segera berpaling ke arah lain. Dinda segera menghampiri Fery dan Selvy yang hanya beberapa langkah darinya.
“Fer, makasih atas semuanya, Selv.. maaf ya, kalo gw sempat berburuk sangka sama elo, kapan lu balik lagi ke australi?”
“Sama – sama, Din.. mungkin minggu ini, alhamdulillah, tempat gw dapat beasiswa dulu nawarin beasiswa untuk nerusin kuliah gw juga, doakan aja lancar, biar ntar kalo lu nyusul tahun depan, udah ada yang bantu lo di sana.. ” ujar Selvy dan langsung memeluk Dinda. Dinda membalas pelukan itu dengan hangat.
Fery menyalami Dinda dengan canggung. Dinda menyambut uluran tangannya dengan menelungkupkan kedua tangannya di dada, seperti salaman ala sunda. Zahra memandang Dinda dengan tersenyum (karena yang ngajarin Dinda Zahra lho, termasuk kerudung yang sekarang menempel di kepala Dinda!)
“Ok, Hati – hati ya, Din. Oh, ya.. Yan, jaga Dinda baik – baik ya!” ucap Fery setengah berteriak ke arah Ryan. Ryan balas mengacungkan jempol, lalu bergegas memeluk Fery, “Sorry ya, gw sempat ngatain lu yang enggak – enggak..”ujar Ryan.
“Ah, justru gw yang harus minta maaf, jaga Dinda baik – baik ya, gw tahu cuma lu mengerti dia Yan, kayaknya gw harus belajar banyak nih dari elo sebelum gw jadi ipar lu...” Fery menepuk – nepuk punggung Ryan.
Semua yang hadir terbelalak, termasuk Dinda dan Zahra. Mereka semua serentak berseru, “Ipar?! Ngincer kakak atau adeknya?”.
Muka Dinda dan Zahra seketika itu juga berubah merah. Keduanya tertawa. Semua ikut tertawa.
Dinda, Pram, Anggi Cs, tante Tari dan Sintya memandang pemandangan itu dengan geleng – geleng kepala.
Dinda lalu berpaling pada Sintya, “I.. ibu.. jaga kesehatan baik – baik ya, doakan Dinda..” ujar Dinda dengan gugup, lalu berpaling pada Zahra, “Ra, jaga ibu baik – baik ya..”.
Zahra mengangguk, lalu memeluk Dinda. Sintya tak kuasa menahan air matanya. Ia memeluk gadis yang baru beberapa dua hari memanggilnya dengan sebutan ibu itu dengan perasaan sayang.
“Ibu pasti doakan, nak.. “ ucapnya, membiarkan gadis itu tetap memeluknya untuk beberapa saat.
Selang beberapa detik kemudian, terdengar pengumuman untuk nomor pesawat yang akan mereka tumpangi. Dinda mencium tangan wanita itu dengan takzim. Ryan mengikuti.
“Mas, saya titip Ryan..” ucapnya sembari memandang Pram. Pram mengangguk, lalu mengulurkan tangan, sebagai salam perpisahan.
Pram dan Ryan lalu membimbing Dinda meninggalkan ruang tunggu, diikuti tante Tari. Semua menatap pemandangan itu dengan perasaan sedih, cemas, dan penuh harap. akankah waktu masih berkenan mempertemukan mereka kembali ataukah justru menjadikan pertemuan ini pertemuan terakhir? Entahlah! Tak ada yang berani memastikan dan memberi jawaban, hanya waktu yang bisa memberikan jawaban atas semua rahasia di dunia ini...

……THE END….

RB-Bagian Delapan Belas

“Anggi?!” Jerit Dinda tertahan. Anggi langsung berhenti memberontak, lalu menepiskan tangan Fery dan langsung berlari ke dekat tante Tari.
“Ma, Fery ma.. Fery jahat sama anggi, nuduh Anggi yang nggak – nggak, ma..!” sahut Anggi, ia menarik – narik tangan tante Tari seperti anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya.
Dinda terperangah, keningnya langsung berkerut., “Mama?” ucap Dinda spontan.
Tante Tari berpaling pada Fery, “Ada apa sebenarnya, Fer?” tanyanya bingung.
“Semua akan jelas, ma..” ucap Fery. Suaranya bergetar.
“Jadi.. Fery dan Anggi..” suara Dinda seperti tersekat. Pram menatap kejadian di depannya dengan tatapan bingung. Untungnya Fery segera cepat tanggap dengan raut muka Dinda dan Pram.
“Ya, Din, Anggi adalah adikku satu - satunya..” jelas Fery menjawab dan memberi kepastian atas pertanyaan di kepala Dinda dan om Pram.
Dinda memandang Anggi, “Nggi, kenapa kamu nggak pernah bilang tentang hal ini?”
Anggi melengos.
“Maaf, Nggi.. gw nggak dapat lagi ngebantu elo, gw nggak bisa ngebohongin diri gw terus, gw nggak bisa melihat Dinda lebih mederita lagi..” Feri memandang Anggi.
APA?!
Dinda terbelalak kaget. Kepalanya semakin terasa berat. Anggi langsung terlihat beringas, “Bohong! Lu bohong Fer! Gw nggak salah! Anggi nggak salah, ma.. Din, gw nggak bohong Din.. semua Fery yang ngelakuin, bukan gw..!!” Anggi menarik lengan baju mamanya
“Nggi, nggak ada gunanya menyangkal lagi Nggi, gw ngeliat mobil lu lewat di depan gw di malam gw mau nambrak om Pram, lu juga yang ngirim surat dan nyebarin berita itu di sekolah, lu juga yang melarang temen – temen lu buat ngejenguk dan deketin Dinda, termasuk Selvy, lu juga kan yang sengaja ngajak gw ke kafe itu kan? bahkan lu ngejebak dia dengan ngasih nomor telpon Dinda ke Ryan, tapi lu gagal karena ternyata Ryan akhirnya memang benar – benar bersahabat dengan Dinda, nggak seperti keinginan lu kan?” Fery terlihat berusaha menahan perasaannya yang hancur lebur. Dinda terbelalak.
“Dari mana lu tahu?!! Hah!!” Bentak Anggi. Mukanya memerah menahan marah dan kesal. Fery segera menuju meja belajar kamar itu dan mengeluarkan sebuah buku berwarna pink, seperti sebuah diary.
“BRENGSEKK! Lu brengsek Fer..!!” Anggi berusaha menerjang dan memukul Fery. Pram dan tante Tari segera memeganginya. Anggi memberontak.
“Maafin gw Nggi, gw ngelakuin ini semua justru karena gw sayang sama elo, gw nggak mau lu ngelakuin yang lebih jauh lagi..” Fery menahan perasaannya.
“Bohong!! Lu brengsek, Fer!”
Dinda terpana. Ia seperti tidak yakin dengan apa yang di dengarnya, “Anggi? Jadi.. elo..”
“Iya, gw! kenapa kaget? Iya, gw yang ngambil hasil lab lu yang lu taro di tempat tidur waktu kita mo berangkat ke pesta, gw juga yang ngatur pertemuan lu sama Fery yang brengsek ini, gw yang nyebarin di sekolah, gw yang kirim surat, gw yang nabrak ayah lu, gw yang bikin Selvy dan temen – teman menjauh dari lu, semuanya gw!! Termasuk gw yang suruh Selvy ngejauhin elo! Ngerti?!!” bentak Anggi, bibirnya menyeringai. Seperti seringai seekor srigala yang bersiap menerkam mangsanya. Dinda tergidik.
“Kenapa lu lakuin semua ini ke gw Nggi? Apa salah gw?” tanya Dinda berusaha setenang mungkin, agar kepalanya tidak semakin sakit.
“Kenapa lu harus kaget? Awalnya gw nggak mau ngelakuin itu, tapi ini karena lu Fer! Lu lamban!” Fery menuding Fery. Tangannya teracung di depan wajah Fery, ”Awalnya lu nggak salah Din.. yang salah itu bokap lu ini!!” Anggi menunjuk Pram yang berdiri di samping Dinda. Lalu, ”Gara-gara bokap lu ini gw harus kehilangan papa! Gw harus menderita, beda sama lu yang hidup dengan tenang..” mata Anggi memerah menahan marah.
“Anggi, om benar – benar tidak sengaja.. itu benar - benar kecelakaan..!” Pram buka suara.
“Benar Nggi..”tante Tari berusaha meyakinkan putrinya.
“Gw nggak peduli!” Anggi histeris.
“Jadi.. lu temenan sama gw untuk balas dendam?”
“Tadinya nggak juga, tapi begitu ngeliat lu yang begitu cantik, baik, dan perfect, gw jadi benci!” Anggi histeris.
“Kenapa Nggi? Padahal gw nganggap lu temen baik gw.. sahabat gw..” tanya Dinda bingung, bercampur sedih.
“Teman baik? O.. justru itu, lu tahu kenapa gw justru benci sama lu justru setelah gw jadi temen baik lu?”
Dinda menggeleng.
Anggi menatap Dinda semakin tajam, “Justru itu, karena lu terlalu baik, semua teman – teman yang awalnya nurut sama gw, justru jadi nurut sama lu! Apa – apa lu, ini – itu elu, dan gw? gw selalu kalah sama lu Din.. bener! Kayak buntut!”
“Tapi gw nggak pernah bermaksud begitu, Nggi..”
“Alaaah.. nggak usah sok baik!”
“Gw nggak sok baik, gw Cuma pengen lu tahu kalo gw nggak pernah bermaksud membuat lu jadi nomor dua.. “
“Basi!”
“Nggi, kalau lu beranggapan, gw bahagia setelah kecelakaan itu, lu salah besar. Gw juga kehilangan bunda..”
“Benar Nggi, kamu nggak tahu apa – apa, kamu nggak pantas menyalahkan Dinda. Dindapun sudah kehilangan ibunya karena kecelakaan itu, sama kayak kita.. dan satu hal yang nggak kamu tahu, selama itu ayah Dindalah yang membantu mama, sampai kita bisa hidup kayak gini..” tante Tari membujuk Anggi.
“Itu belum cukup, ma.. karena papa nggak akan bisa diganti dengan harta ini!!”
Dinda terdiam. Sekali lagi sekeping hatinya terasa hancur lebur dan berderai. Kepala Dinda menjadi terasa semakin berat dan pusing. Semua peristiwa beberapa waktu lalu langsung terasa berputar – putar di kepalanya. Berbagai kejadian langsung hadir bergantian dan berebut di ruang benak kepala Dinda. Jantung dinda berpacu dengan cepat dan berdebar dengan keras. Wajah – wajah di depannya semakin menjauh dan mengabur. Tubuh gadis itu terkulai. Semua terasa gelap. Brukk!

Sementara itu di tempat lain..
Ryan tengah sibuk mengklik situs – situs di internet. sesekali tangannya mengganti kata kunci yang dicarinya, lalu mencatat informasi – informasi yang telah didapatnya. Demikianlah yang dilakukannya berulang – ulang, hingga didapatkannya sederet informasi yang dibutuhkannya yaitu, sebuah halaman yang memuat informasi tentang sebuah rumah sakit khusus yang didirikan oleh WHO dan Latvia untuk perawatan khusus penderita TBC, yang merupakan rumah sakit khusus yang menangani kuman tebece yang kebal terhadap obat – obatan atau pengobatan yang sering terputus dalam waktu yang lebih pendek!.Dinda nggak akan semenderita berobat di sini, yang pengobatannya harus melalui suntikan setiap hari atau obat yang berkepanjangan selama enam bulan atau sembilan bulan, atau bahkan lebih!
Ryan tersenyum. Segera dimatikannya komputer rental tersebut. setelah membayar di kasir, segera ia berlari mencari wartel terdekat. Hanya satu yang ia ingin lakukan saat ini yaitu, memberitakan kabar gembira ini kepada Dinda! Dinda pasti senang, karena ia akan sembuh!
Ryan langsung menekan beberapa digit nomor telpon interlokal. RrRrRr..!!!RrRrRr..!! RrRrRr…
Sepi. Tak ada jawaban.
Ryan menekan nomor itu sekali lagi, namun lagi – lagi tak ada yang mengangkat. Kemana gadis itu? Bukankah seharusnya ia ada di rumah, atau ayah ada di rumah?
Ryan akhirnya menyerah. Ia memutar kepalanya. Zahra, ya.. ia akan menelpon Zahra saja. Tepat setelah dering ke dua barulah telpon di seberang diangkat. Ryan bicara dengan tidak sabar.
“Halo, Assalamu’alaikum, Zahra, ini kakak,. APA Ra?! Dinda dirawat di rumah sakit?! Keadaannya bagaimana?.. APA??! Di mana Ra? Ibu lagi kesana?”
Ryan meletakkan gagang telpon dengan tergesa – gesa dan tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Ia tersandar lemas di depan box telepon. Pikirannya kalut, air mata mengalir deras dan membanjiri sudut matanya. TIDAAAK! Dinda…!!

………bersambung ke bagian 19………..

RB - Bagian Tujuh Belas

Dari balkon lantai dua sebuah rumah megah sesosok bayangan sedang mengamati dua orang yang tengah bercakap – cakap di lantai bawah yang tak jauh di depannya. Sesekali mata di balik kaca mata ia melirik Seiko mungil yang melingkar di tangannya. Huh, Lama sekali gadis itu! keluhnya sambil menatap ke bawah, ke gerbang masuk tentunya.
Tak lama kemudian, senyumnya mengembang. Hatinya bersorak, sesuai rencana, akhirnya gadis itu datang! Dinda datang! Ah, lihat saja, sebentar lagi akan ada kekacauan sodara – sodara! Perang saudara antara ayah dan anak! Hati gadis itu bersorak riang.
Sesuai rencana, Dinda berjalan tergesa – gesa memasuki pekarangan rumah yang tak diketahuinya siapa si empunya rumah itu. Si gadis langsung mengambil tempat strategis untuk mendengar pembicaraan, namun tak terlihat dari lantai satu.
Sesampainya di pintu masuk, Dinda segera mengetuk pintu dengan ragu - ragu. Seorang perempuan setengah baya segera membukakan pintu dan mempersilahkan gadis itu masuk. Namun, baru beberapa langkah Dinda melangkah, ia langsung terperanjat dengan pemandangan di depannya. Matanya terpaku pada dua sosok yanga tengah asyik berbicara di ruang tengah. Ayah? Siapa wanita itu? pemilik rumah inikah? oh! Tante Tari!
“Dinda?” Ayah Dinda dan tante Tari serempak berseru kaget. Kedua sosok itupun seperti sangat terkejut ketika menyadari kehadiran Dinda di sana. Dinda seperti ingin lari saat itu, tapi rasa keingintahuannya lagi – lagi membuat kakinya seperti terpaku dan tak mampu beranjak dari tempatnya berpijak. Kenapa ayah tak pernah cerita kalau ternyata ia mengenal tante Tari? kenapa ayah mesti merahasiakan pertemuan ini? Hati Dinda berbisik, semua harus jelas! Semua teka – teki ini harus diselesaikan!
Pram dan tante Tari bergegas menghampiri Dinda.
“Ayah? Tante? Kenapa..” Dinda gelagapan. Kepalanya pusing, semua pertanyaannya yang tadi menempel di kepalanya tadi seperti hilang seketika.
“Dinda.. denger dulu penjelasan ayah..” Pram berusaha menenangkan Dinda, di rengkuhnya gadis itu untuk segera duduk.
Tapi tampaknya kepala gadis itu tak dapat lagi menguasai hatinya. Dinda menepiskan tangan ayahnya,” Apa arti semua ini, yah? Lalu cerita ayah beberapa hari yang lalu itu… ”
“Dinda, sungguh…”
“Nggak usah ayah, cukup Dinda di sini aja.. ayo, ceritakan semua kebenaran yang selama ini ayah sembunyikan dari Dinda..” Dinda menatap Tari dengan tatapan sinis.
“Nggak ada, sayang..”
“Jangan panggil Dinda kayak gitu, sampai semuanya ayah ceritakan.. Dinda sudah siap dengerin semuanya, Dinda sudah siap sejak Dinda melihat tante datang ke rumah sakit, membayarkan semua sisa biaya rumah sakit ayah, ayo tante, ayah..” Dinda mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
“Dinda.. kami tak ada hubungan apa-apa. Sungguh!” jelas tante Tari.
“Seperti.. teman maksud tante?”
Tante Tari dan Pram mengangguk.
“Teman? kok kayak anak kecil aja? Atau emang ayah dan tante yang menganggap Dinda sebagai anak kecil, yang nggak mengerti apa – apa? Dinda kan punya mata dan hati. Ha?” Dinda tertawa sini.
“Ya, Din.. percayalah sama ayah, ayah nggak pernah bohong sama kamu. Ayah kesini cuma mau ngucapin terima kasih.” Pram meyakinkan Dinda.
“Apa wajar teman membayarkan biaya sebanyak itu? dengan cara rahasia - rahasiaan segala? apa wajar pake kirim - kiriman bunga segala? Apa wajar ketemu diam – diam dan tanpa sepengetahuan Dinda?”
“Tante emang membayar sisa biayanya, itu sebagai.. ah, tante punya alasan.. tapi.. bunga? Bunga apa?” tante Tari terlihat bingung.
“Alah, tante nggak usah pura – pura nggak tahu!” Dinda kesal, ”Gimana mungkin tante nggak tahu bunga yang tante letakkan di kamar ayah waktu ke rumah sakit itu! Dinda nggak bodoh tante, Dinda udah dewasa.. udah ngerti!” mata gadis itu semakin merah menahan perasaannya yang bercampur aduk. Pram dan Tari saling berpandangan.
“Sekarang.. Dinda udah nggak percaya sama siapapun..”
“Dinda, ayah…” Pram mencoba memotong.
“Stop yah, Dinda belum selesai.. Dinda capek dibohongin.. sama tante yang baik dan Dinda kira nggak punya maksud apa – apa, sama ayah yang semua Dinda korbankan untuknya, tapi bohong sama Dinda, ayah jahat! “
“Maafin ayah Dinda.. ayah nggak bermaksud bohong sama kamu.. “ Pram menatap Dinda dengan sungguh-sungguh. Dinda tak bergeming, sampai…
“Ayah kamu benar Din, dia nggak bohong.. diantara kami emang nggak ada apa – apa, pasti itu Cuma kerjaan orang iseng.. kamu harus percaya itu.” tante Tari ikut meyakinkan Dinda.
“Dinda nggak percaya… Dinda nggak percaya..” dinda menggeleng. Air mata dengan deras membanjiri pipinya dari tadi.
“Cukup Din, semua yang dikatakan ayah kamu dan mamaku bener, tak ada yang membohongimu..”
Sebuah suara bariton yang rasanya amat dikenalnya membuat kepala Dinda menoleh, oh.. tidak hanya Dinda, tapi juga tante Tari dan Pram, ayah Dinda. Jantung Dinda langsung berdegup kencang. Keningnya mengernyit, mulutnya yangsung berucap spontan, “Fery? Ngapain kamu di sini?”
“Boleh kan aku di sini sesukaku, di rumahku sendiri.”
“Ya, Din.. maaf, aku udah dengerin kalian dari tadi dan aku rasa aku harus ikut campur. Karena aku nggak tahan lagi harus terus membohongi kamu dan diriku sendiri..”
“Tau apa kamu?”
“Tahu semuanya, tapi please, tolong maafin aku dulu”
“Untuk apa?” Dinda bingung.
“Karena aku sempat benci sama kamu.. bukan, bukan karena tebece itu, bukan karena.,ah, tapi…”
“Tapi apa ?” tanya Dinda sengit.
“Tapi karena kecelakaan empat belas tahun yang lalu.. karena aku nggak bisa maafin ayah kamu yang bikin papaku meninggal karena ditabrak mobil ayah kamu… aku…” Fery tak dapat melanjutkan kata – katanya.
Dinda merasakan kepalanya semakin berat untuk menangkap kalimat – kalimat yang diucapkan Fery. Ia memandang ayahnya sebentar. Lelaki itu hanya mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan oleh Fery. Gadis itu memandang Fery dengan tatapan tajam.
“Jadi…jadi.. semua ini adalah acara balas dendam kamu sama mamamu sama aku dan ayah? Iya?!” Dinda setengah berteriak, “ Sukses acara kamu bikin aku kehilangan beasiswa? Sukses bikin aku kehilangan teman karena berita yang kamu sebarkan di sekolah? bahagia lihat ayahku terkapar berlumuran darah karena di tabrak? Masih kurang dengan keadaan kami yang sekarang tinggal di kontrakan kecil? Masih kurang? Apalagi yang kamu inginkan setelah ini? Hah?!” Dinda menatap Fery dan tante Tari tak berkedip. Semua uneg – unegnya selama ini seakan tumpah seketika.
“Tidak Din, kamu salah paham.. “Fery berusaha meyakinkan Dinda, juga Pram,
“Aku nggak percaya Fer, aku nggak percaya kamu tega melakukan perbuatan serendah itu sama aku dan ayahku!”
“Dengerin aku dulu, Din..”
“Apa? Apa yang harus aku dengerin?” Dinda semakin tak kuasa mngendalikan emosinya. Pram memegang pundak Dinda.
“Tadinya aku memang berencana menabrak oom di malam itu, aku ngikutin ayah kamu memang waktu, sampai ban mobilnya kempes di tengah jalan.. dan aku memang ikut berhenti beberapa meter setelah om Pram berhenti, tapi entah kenapa di saat – saat terakhir aku jadi bimbang, aku ngerasa aku sangat pengecut, dan akhirnya aku pulang tanpa mempedulikan apa – apa.. aku sama sekali nggak ngelakuin itu Din.. aku berani ber..”
“Apa?! Berani apa? Nggak ada lagi yang aku percaya sama kamu.. aku nggak nyangka Fer, kamu pengen kenal sama aku Cuma karena manfaatin aku aja untuk dendam kamu Fer..” Dinda memandang Fery, lalu beralih ke tante Tari,“ Tante juga.. semua nggak ada yang Dinda percaya..”
“Nggak Din, kamu nggak boleh ngomong begitu.. waktu di pesta itu aku belum tahu kalau kamu adalah anak om Pram, juga waktu makan malam itu, sungguh Din! Dan mama juga ngebantu biaya rumah sakit ayah kamu juga sebagai balas budi..”
“Aku nggak percaya..”
“Ya, Din.. mungkin Pram belum sempat cerita, dulu setelah papanya Fery, suami tante kecelakaan, papa kamu lah yang bantu tante dan perusahaan kami.. jadi, wajar kan kalo tante juga bantu ayah kamu?” jelas tante Tari.
“Jadi semua ini.. selama ini.. oh, Dinda bingung..” Dinda memegang kepalanya yang semakin sakit.
“Sebentar, ada yang harus kamu tahu..” ucap Fery.
Dengan tergesa - gesa Fery berlari meninggalkan Dinda, Pram dan mamanya menuju lantai dua. Entah apa yang akan dilakukannya, entahlah..
Satu menit, dua menit, lima menit berlalu. Fery tak juga muncul dari lantai dua. Dinda menunggu dengan dada berdebar. Tangannya masih memijit – mijit kepalanya yang semakin sakit. Sementara itu Pram dan tante Tari memandang gadis itu dengan tatapan cemas.
“AAAAAH...!”
Tiba – tiba Dinda, Pram dan tante Tari dikejutkan oleh teriakan melengking seorang perempuan yang terdengar dari lantai dua.
Mereka segera berlari menuju asal suara yang ternyata dari salah satu kamar itu. Langkah Dinda tiba – tiba terhenti. Kakinya seperti terpaku, matanya terbelalak kaget ketika menyaksikan peristiwa di depannya. Fery sedang berusaha menarik tangan seorang gadis yang meronta dengan sekuat tenaga. Gadis itu adalah.. Anggi!

………bersambung ke bagian 18……..

RB- Bagian Enam Belas

Tiga bulan kemudian…

Tiga bulan sudah berlalu sejak rahasia Zahra dan Ryan terbongkar. Artinya, sudah tiga bulan juga mereka menyimpan rahasia itu dengan rapat. Ya, mereka akhirnya memutuskan untuk menyimpan dulu sementara hal itu, menunggu sampai keadaan ayah Dinda benar – benar pulih dan mereka siap untuk menguak kebenaran dan membuka luka lama itu.

Uhuk!! Uhuk!!

Dinda berusaha menahan batuknya yang semakin menjadi – jadi dengan sesekali menutup mulutnya dengan tangan kirinya yang menggenggam tisu. Sekotak tisu yang tadi pagi dikantonginya terlihat hampir habis. Sementara tangan kanannya sibuk membilas piring kotor yang tak ada habisnya. Ya, Dinda mengikuti saran ayahnya, walaupun untuk itu ia harus menerima ditempatkan di tempat cucian dan bagian bersih – bersih, agar batuknya tidak mengganggu tamu yang sedang makan.

“Udahlah Din, kalo kamu sakit, kamu istirahat aja di belakang, aku masih bisa kok ngerjain ini semua, lagi pula agak sepi kok tamu hari ini..” Nana, teman se-bidang Dinda terlihat prihatin dengan kondisi Dinda.

“Iya Nda, aku juga bisa kok bantuin Nana.” Agus yang rada – rada kemayu ikut menimpali.

Dinda tersenyum, “Nggak pa – pa kok Na, Gus, lagian tanggung! “ jawab Dinda. Nana dan Agus tak berkata apa – apa lagi. Rupanya seminggu penuh bergaul dengan Dinda sudah membuat kedua orang itu mengerti dengan karakter Dinda yang sedikit keras kepala alias susah dibilangin!

“Oh ya Din, cowok yang dulu nganterin kamu waktu pertama kali kerja itu, trus yang suka mampir itu sekarang kemana? Keren juga tuh! Tapi kok nggak pernah kelihatan lagi sih?” tanya Nana.

“O.. Ryan, sekarang dia di Bandung, kan udah mulai kuliah.. ntar sebulan sekali juga dia pulang. Kenapa Na? ”tanya Dinda sambil terus membereskan meja yang kotor dan memasukkan piring yang sudah terpakai ke dalam baskom yang dibawanya.

“Kenapa? Mau daftar jadi kakak ipar gw?”

“Kakak ipar?”

“Ryan kan saudara tiri gw, anak tiri bokap gw..”

Nana ternganga kaget, “Oh, my God!”. Ia menepuk keningnya.

Tiba – tiba pikiran jahil Dinda muncul untuk terus melanjutkan godaannya. “Kenapa? Nggak mau punya adik ipar sebaik gw? Gw baik lho? Lu nggak akan nyesel deh jadi adek gw..!” Dinda sok promosi.

“Hueeekkkkk! Nggak deh..!”Nana kontan berteriak, namun gadis itu tetap saja tak mampu menyembunyikan mukanya yang bersemu merah. Dinda ketawa ngakak. Nana lalu buru – buru meniggalkan Dinda, sebelum gadis itu sempat menggodanya lagi.

Namun, baru akan mengambil piring kotor lagi ketika langkahnya mendadak berhenti. Mata gadis itu terbelalak begitu melihat sekelebat dua bayangan yang baru memasuki restoran. Fery? Dan.. Anggi? Mengapa mereka berdua ada di sini? Ada hubungan apa diantara mereka berdua? Mungkinkah mereka…

Dinda urung melanjutkan langkahnya. Dengan tergesa – gesa, ia kembali ke belakang membawa tumpukan piring kotor ala kadarnya yang sudah terkumpul. Tanpa mempedulikan tatapan heran rekan – rekannya, Dinda melepaskan celemeknya.

“Na, Gus, gw istirahat dulu ya sebentar!” ucap Dinda.

Nana dan Agus jadi bengong. Tadi disuruh istirahat nggak mau,malah ketawa – ketawa, eh.. kok sekarang tiba – tiba minta pensiun, eh, istirahat mendadak?

Beberapa detik kemudian barulah kedua bujang dan gadis itu mengerti perihal yang menyebabkan sahabat baru mereka itu buru – buru ke belakang, yaitu ketika melihat tatapan seorang cowok yang mengikuti kepergian Dinda yang menghilang dari balik pintu ruang istirahat. Keduanya langsung geleng – geleng kepala.

Sementara itu…

Fery terlihat kaget melihat sosok seperti Dinda ada di restoran itu. berkali – kali matanya mengerjap, mencoba meyakinkan bahwa yang dilihatnya adalah Dinda. Hatinya bertanya, benarkah itu Dinda? Tapi, Mengapa gadis itu ada di sini? Bekerjakah?

Cowok itu terus memandangi punggung yang langsung menghilang dari balik daun pintu. Fery jadi bimbang dan ragu dengan penglihatannya. Dipandanginya sekali bayangan Dinda dan Anggi yang duduk di sampingnya dengan cuek dengan ber-SMS ria secara bergantian dengan hati sedih dan teriris - iris.

Dinda. sebenarnya ada rasa tak tega di hatinya melihat keadaan gadis itu, tapi ia harus bagaimana? Anggi.. Bagaimanapun Anggi sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya dan tak mungkin ia menolak keinginan gadis itu.. tak bisa!

Fery memandang bayangan Dinda dan Anggi sekali lagi. hatinya bimbang. Ah, persetan dengan semuanya!. Akhirnya Fery bergegas kebelakang meninggalkan Anggi yang kini memandangnya dengan kesal. Fery bergegas menghampiri dua sosok yang tadi dilihatnya bicara akrab dengan Dinda. Nana dan Agus.

“Maaf mbak, mas, bisa saya bicara dengan mbak yang tadi bicara sama Mbak?” tanya Fery. Dinda yang tadinya berniat memejamkan mata sebentar, jadi urung begitu mendengar samar – samar percakapan di luar.

“O.. mbak Dinda, sebentar ya mas.” Jawab Agus, yang langsung disambut dengan sikutan oleh Nana. Agus mengaduh, lalu berlari ke belakang, diikuti oleh Nana.

Tanpa menunggu Nana dan Agus bicara padanya, Dinda segera bangkit dari posisi tidurnya dengan wajah kesal dan enggan. Gadis itu segera menanggalkan celemek yang tadi masih menempel di tubuhnya, lalu bergegas menghampiri sosok Fery.

“Din, saya mau bicara.” pinta Fery.

“Saya lagi kerja.” Jawab Dinda ketus.

“Tolong, Din! lima menit aja kasih saya waktu, saya janji setelah itu saya akan pergi..” Fery memohon dengan wajah memelas.

“Ok, kamu Cuma punya waktu lima menit, setelah itu kamu harus pergi dari hadapan saya.” Ucap Dinda dingin. Nana dan Agus yang tadinya berniat nguping, jadi mengkerut. Keduanya lalu menyingkir pelan – pelan. Sama cowok cakep kok galak? Syereeemm!

Fery mengangguk. Dinda melangkah menuju ruang belakang kafe yang agak sepi. Tak dihiraukannya pegawai kebersihan yang sedang membereskan tempat itu memperhatikannya dengan penuh heran. Fery mengikutinya.

“Din, maafkan sikap saya selama ini, tolong..” ucap Fery.

Dinda terbelalak,” Maaf ? Maaf untuk apa, ya?” tanya Dinda dingin.

“Karena saya udah nyakitin perasaan kamu, karena..”

“Karena apa?”

“Atas semua salah saya selama ini.”

“Kamu nggak salah, kok. Itu memang pantas aku dapatkan.”

“Nggak Din, saya tahu saya salah, karena itu saya minta maaf..”

“Maaf? Kenapa semua orang harus minta maaf sama aku sekarang? Kenapa begitu mudahnya?” tanya Dinda. Mata gadis itu memerah menahan semua perasaannya, “Kenapa baru sekarang? Kemana kamu pada saat aku butuhkan? Kemana kamu? Kalian? Nggak Anggi, nggak kamu.. semua sama! Apa kalian semua udah nyesel ninggalin Dinda yang tebece ini? aku ini masih tebece, jadi belum pantas untuk kalian dekati! lagi pula aku ini Cuma seorang pelayan, beda sama kalian yang orang kaya!”

Fery tertunduk,”Aku tahu, karena itu.. “

“Karena itu apa?! Saya nggak butuh rasa kasihan kamu, saya udah nggak butuh kamu, aku udah tenang dengan keadaanku sekarang, tolong jangan ganggu lagi, aku bahagia dengan hidupku sekarang, jadi tolong biarkan aku tetap bahagia sebentar saja..” Dinda berusaha menahan air matanya yang semakin berdesakan untuk segera keluar. Tidak! Aku harus kuat!

“Din, tolonglah Din, aku sama Anggi..” Fery memohon dengan wajah memelas.

Dinda memberi isyarat dengan tangan kirinya, “Please Fer, Aku nggak mau denger penjelasan apa – apa Fer, semua yang aku lihat sudah memberikan jawaban, aku nggak perlu penjelasan apa – apa lagi dari kamu, waktu kamu udah habis, tinggalin aku sekarang juga!”

“Aku dan Anggi..”

“STOP!” potong Dinda,”Aku udah bilang, tinggalin aku sekarang atau aku akan teriak. Cepat!”

Fery menurut. Dengan langkah berat ia meninggalkan Dinda yang masih berdiri di tempatnya. Tanpa suara, air mata mengalir deras di pipinya. Hatinya terasa hancur berkeping – keping.

Sementara itu di belakangnya Dinda tampak mulai terhuyung – huyung.

“Ya Allah, kuatkan Dinda.. Ryan, tolong Dinda, bantu Dinda menjalani semua ini, bantu adikmu ini.. Uhuk! Uhuk!” tanpa sadar Dinda bergumam lirih.

Uhuk! Huk!

Dinda mencoba menahan batuknya yang semakin menjadi – jadi dengan membekap mulutnya lebih erat dengan tisu pada tangan kanannya. Tiba – tiba mata gadis itu terbelalak melihat tisu itu. Darah! Ada darah di tisu itu! seketika Dinda merasakan dadanya terasa begitu sesak dan oksigen yang semakin menipis. Brukk!. Tubuh lemahnya ambruk. Gelap.

Dalam bayangan yang semakin menghilang Dinda mendengar suara-suara panik di sekelilingnya…

……………….

Dinda membuka matanya perlahan. Bau steril obat langsung menusuk hidungnya. Di sampingnya, tampak Agus dan Nana memandangnya dengan wajah pucat dan cemas.

“Na, gw di mana?” Dinda berusaha untuk bangkit. Tangan kirinya memegang kepalanya. Sakit! Nana segera membantu gadis itu bangun.

“Lu tadi pingsan, gw sama Agus langsung aja bawa lu ke klinik ini.” Nana ikut memijit kepala Dinda.

“Iya Din, makanya dari tadi gw bilangin lu biar istirahat, eh lu nya nggak mau, gini deh jadinya.. mana gw kan takut kalo ngeliat orang pingsan. Emang lu kenapa sih Din?” tanya Agus.

Dinda tertegusn tapi bibirnya berusaha tersenyum, “Thank’s ya udah nolong gw, sebenernya gw tebece Na, Gus.. temen – temen gw pada ngejauh dan ini kali kedua gw putus berobat lagi untuk kedua kalinya, sejak gw terlalu sibuk ngurusin bokap gw, gw kehabisan uang untuk biaya perawatan bokap.. hmm, tapi please jangan bilang bokap gw ya keadaan gw kayak gini, please..!”Dinda memohon. Nana dan Agus memandang Dinda beberapa saat dengan tatapan iba dan bingung. Dengan ragu – ragu, akhirnya keduanya mengangguk.

“Ok, tapi lu harus janji nggak maksain lagi..” jawab Nana.

“Dan harus istirahat di sini sampai sore, ok?” sambung Agus.

Dinda mengangguk dengan penuh terima kasih kepada kedua sobatnya. Nana dan Agus tersenyum.

“Oh ya, kata dokter yang periksa lo tadi waktu pingsan, lu juga nggak boleh banyak pikiran, ntar kalo udah baikan, lu boleh balik ke restoran. Tenang aja ntar gaji lu gw yang ambilin, jadi ntar sore lu tinggal ambil ke gw, ntar gw juga yang bilang sama bos, ok?”

“Iya, makasih ya, lu bedua baik banget sama gw..”

“Yah, namanya juga temen Din, kan lu sendiri yang bilang kalau sahabat sejati itu “ada di waktu senang dan susah” Ya kan, Na?” Agus melemparkan pandangan ke Nana. Nana balas mengangguk. Ketiganya lalu tersenyum.

Dinda balas menatap Nana nakal, “Serius? Bukan karena mau jadi ipar gw?” goda Dinda.

Muka Nana kembali bersemu merah, “Huss!! Lu ada – ada aja. Ya nggaklah.. lagian mana mungkin sih anak kuliahan yang pinter dan cakep kayak Ryan mau sama gw, Din..”

“Kalau mau? Cinta kan tak kenal kasta.” Dinda tambah mengoda dengan memijam istilah lagu pop yang sempat ngetop tahun sembilan puluhan itu.

Muka Nana tambah memerah. “Udah ah! Ok, Gw sama Agus cau dulu ya, istrahat ya! oh ya, gw lupa, bukannya ada program obat gratis dari pemerintah Din buat penderita tebece?”

Ada. Cuma itu buat yang baru permulaan, kalau yang udah pernah putus berobat sampai dua kali kayak gw udah susah ngurusnya, harus kesinilah, rujuk kesitulah.. ada sih yang mau ngasih langsung, Cuma gw harus bayar juga obat – obat lainnya, ya vitaminlah katanya, atau apalah, tapi intinya tetap aja mahal! Ya, kecuali kalau baru berobat permulaan, mungkin bisa langsung dapat obat. Gw waktu itu pernah ke klinik deket rumah, gw kan nggak tahu apa – apa ya? Gw cerita aja kalau gw udah pernah putus berobat dua kali.. eh, bukannya langsung dikasih obat, malah tuh dokter nggak mau ngasih gw obat, gw malah disuruh ngurus surat dan macem – macem dulu ke rumah sakit kota..”

“O, gitu, ya udah ya, gw tinggal, bye..” Nana menggenggam tangan Dinda, lalu melangkah menuju pintu.

“Iya, bye juga Din, istirahat ya?” ujar Agus mengikuti buru-buru, takut ditinggal Nana!.

Dinda tersenyum dengan melihat tingkah kedua sobatnya itu. Matanya terus memandangi punggung dua sobat barunya yang hilang dari balik daun pintu. Gajian, ya! Untungnya bos restoran tempatnya bekerja sekarang itu mau berbaik hati pada Dinda dan bersedia memberikan gaji tiap minggunya, sehingga Dinda tak begitu kesulitan dalam pengeluaran sehari – harinya.

Nana dan Agus. Mengingatkan Dinda pada sahabat – sahabatnya waktu di SMU dulu, bagaimana ya kabarnya mereka sekarang? Pada kuliah di mana? Ah, mungkin benar kata orang, sahabat itu selalu datang dan pergi. Tapi, di manakah yang namanya sahabat sejati?

……………….

“Lam lei koem! Ayah..! Dinda pulang nih! Hari ini Dinda gajian lho.. Tau nggak Dinda bawa apaan buat ayah? Pasti deh ayah suka, Dijamin!” Dinda berteriak nyaring setelah membuka pintu dengan kunci serap yang di bawanya. Wajahnya berusaha menyembunyikan apa yang telah menimpanya. Ceria. Kantong plastik bawaannya diletakkannya dengan hati – hati di atas meja makan berukuran kecil itu. lalu dengan hati – hati gadis itu melangkah ke depan pintu kamar ayahnya, dengan niat mengagetkan pria itu ketika sang ayah membuka pintu nanti.

Namun, beberapa detik kemudian.. pintu yang yang diharap – harap akan terbuka tak juga menunjukkan tanda – tanda akan terbuka. Perasaan Dinda langsung was – was. Didorongnya handel pindu perlahan. Kosong! Kamar ayah kosong!

Kemana Ayah? Kenapa tak bilang kalau mau pergi?

Mata Dinda menyapu seisi kamar. Tiba – tiba matanya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di lantai kamar, di samping tempat tidur ayahnya. Sebaris tulisan tangan tertera di sana. Sebuah alamat lengkap tertulis di sana. Dinda mengenali tulisan itu sebagai tulisan ayahnya.

Apa ini? Kening Dinda mengernyit. Otaknya mencoba mengolah dan memahami maksud dari tulisan tersebut. Komplek Ini rasanya tak begitu jauh dari sini, tapi ini rumah siapa? mungkinkah Ayah pergi menemui seseorang yang memiliki nomor telpon ini dan di tempat yang tertulis di kertas ini? lalu kalau ternyata benar, siapa orang ini? kenapa ayah tak bilang kalau dia akan pergi?

Dinda memasukkan kertas itu ke dalam kantong jaketnya dengan tergesa – gesa. Disambarnya kembali tas yang tadi di sandangnya tanpa mempedulikan belanjaan yang tergeletak di meja. Pikirannya hanya satu, Ini saatnya Din menyelesaikan semuanya! ia harus mencari tahu siapa yang ditemuinya dan menjawab semua teka – teki yang memenuhi kepalanya selama ini, termasuk masalah tante Tari!

…………bersambung ke bagian 17……

Selasa, 22 Juni 2010

RB - Bagian Lima Belas

“Eh, Yan, kalau boleh aku tahu, ayah kamu kerjanya apa? Di mana?” tanya Dinda sore itu, ketika Ryan mampir ke tempat restoran dimana ia bekerja.
Ryan tampak gugup, lalu menyeruput tehnya, lalu memutar – mutar cangkir itu. Dinda memperhatikan semua gelagat itu dengan cermat dan penuh curiga.
“Kenapa? aku nggak boleh tahu ya?” tanya Dinda hati – hati. Ryan langsung menoleh cepat, ia memandang Dinda, “Nggak Din, aku udah nggak punya ayah sejak kecil. Aku, Zahra dan ibuku hanya hidup bertiga aja.”
“Memangnya setelah berpisah dengan ayahmu, ibu kamu nggak pernah nikah lagi?”
“Nggak. Pernah aku suruh nikah lagi, tapi ibu menolak.”
“Kenapa?”
“Ya nggak tahu. Emang kenapa sih Din kok kamu tiba – tiba cerewet begini soal keluargaku?”Ryan sedikit kesal.
“Nggak. Nanya aja. Nggak boleh?”
“Boleh aja, Cuma kan nggak biasanya begitu.”
“Kan baru sekarang ingatnya, jadi baru sekarang juga nanyanya. Oh, udah ya, ada tamu, Dinda ke belakang dulu.” Dinda beranjak dari duduknya. Tapi, tiba – tiba..
“Din, tunggu..!”
Dinda urung melanjutkan langkahnya. Ia segera berbalik, lalu menghampiri Ryan, “Ada apa? Ada yang mau kamu omongin?”
Ryan terlihat ragu – ragu,”Nggg, besok aku berangkat ke Bandung. Kuliah semester satu udah mau mulai. Aku.. aku..”
“Kamu kenapa?” tanya Dinda setenang mungkin.
“Aku minta maaf karena aku nggak bisa bantu kamu lagi dan mungkin aku akan titip Zahra.”
“Nggak apa-apa kok. Hati – hati ya di sana nanti. semoga semua yang kamu cita-citakan tercapai semua..”
“Oh ya, nanti sore aku dan Zahra diundang ke acara kegiatan sosial di kampung sebelah, kalau kamu mau ikut, nanti aku dan Zahra akan jemput kamu, mungkin untuk terakhir kalinya kita pergi bertiga ..”
Dinda mengangguk, lalu meninggalkan Ryan yang memandangnya sekilas dengan tatapan sedih untuk beberapa saat, lalu kembali asyik dengan pikirannya dan memutar – mutar cangkir tehnya, sambil sesekali memainkan sendok kecil yang tergeletak di atas piring di depannya itu.
Ryan termagu, tatapannya penuh dengan rasa was-was dan takut, “Ada apa sebenarnya? Mengapa Dinda tiba – tiba menanyakan hal itu, padahal selama ini sekalipun tak pernah dibicarakannya? Apakah Dinda sudah mengetahui semua rahasia itu? tentang aku, Zahra, dan Ibu? Kalau sudah, mengapa gadis itu tak langsung saja mengatakan hal itu? Ataukah aku harus mengatakan hal itu langsung kepadanya sebelum.. sebelum kami berpisah nanti? ah, tidak. Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya, semua pertanyaan dan teka – teki ini.. ”
Ryan menghabiskan potongan terakhir puding yang tersisa di piringnya, lalu menyeruput teh terakhir yang tersisa di dasar cangkirnya, lalu bergegas menuju kasir dan meninggalkan restoran kecil itu dengan perasaan kacau tak menentu.

…………………………

Rumah Ryan dan Zahra…
Zahra keluar menuju ruang makan untuk membuatkan Dinda minum. Ryan duduk dengan kepala tertunduk, “Din, aku.. mau bicara..” Ryan memecah kebekuan sore terakhir itu dengan suara gemetar. Ini untuk pertama kalinya Dinda melihat cowok itu bicara gelagapan sampai gemetar seperti ini.
“Ya, aku juga mau bicara..” sahut Dinda.
“Oh ya, ya udah kamu aja duluan..”
“Nggak, kamu aja Yan.”
Ryan menarik napas panjang. Wajahnya serius, sungguh sangat berbeda dengan Ryan yang biasanya. Dindapun demikian. Ia memperhatikan dengan pernuh perhatian dan menunggu kata – kata yang akan diucapkan Ryan dengan berdebar – debar dan rasa penasaran yang meluap – luap.
“Nggg, aku.. Cuma mau tanya, apa kamu sudah tahu rahasia.. rahasia diantara kita?”
“Maksud kamu rahasia orang tua kita?”
Ryan tampak sedikir terkejut dengan jawaban Dinda, tapi sesaat kemudian ia tampak sudah bisa menguasai keadaan kembali.
“Jadi.. jadi kamu sudah mengetahuinya?”
Dinda mengangguk,”Ya, aku tahu secara nggak sengaja.”
“Ok, ok. Sekarang giliran kamu bicara.”
“Aku Cuma beberapa pertanyaan..” sahut Dinda pendek.
“Apa itu?”
“Apa.. kamu terlibat dengan semua kejadian yang kami alami selama ini? kenapa kamu dan Zahra mendekatiku selama ini? Kenapa tiba – tiba kalian memasuki kehidupanku?”
“Din!”sanggah Ryan cepat, “Aku tak mengerti maksud kamu.. ok, ok. Aku akan cerita.. begini..” Ryan menarik napas dalam – dalam, ia mulai bercerita.
“Aku akui, memang sudah lama memperhatikan kamu, sejak satu sekolah denganmu. Aku sendiri nggak ngerti Din, tapi yang jelas aku merasa ada sesuatu yang membuat aku terus memperhatikanmu. Mungkin itulah yang disebut ikatan batin.. Waktu itu aku belum sadar kalau kamu adalah anak.. om Pram. Mama pernah cerita padaku tentang papaku, tepatnya mungkin papa tiriku.. dan kehidupannya di masa lalu, tapi.. aku benar – benar nggak tahu kalau siapa dia.. sampai waktu itu, waktu acara pemilihan siswa teladan itu.. secara nggak sengaja aku liahat profile kamu, nama orang tuamu.. dan akhirnya aku menyelidiki semuanya, dan akhirnya akupun mengetahui kenyataan itu..” Ryan mengakhiri ceritanya.
“Hanya itu?”
“Ya”
“Kamu nggak dendam sama aku?”tanya Dinda.
“Dendam? Kenapa aku harus dendam?”
“Karena ayahku meninggalkan kalian..”
Ryan memandang Dinda dengan tatapan tajam,“Aku percaya sama ibu, aku tetap berpegang pada kata – kata ibu. Ibu selalu mengatakan bahwa ia justru berhutang budi sama ayahmu, jadi itu juga yang membuat aku dan Zahra berusaha menemani kamu, menjagamu.. jadi tak ada alasan bagiku untuk membencimu.. tak ada alasan bagiku untuk membenci saudara tiriku sendiri.. dan…”
Ucapan Ryan terputus. Rupanya tanpa mereka sadari Zahra sudah berdiri di pintu ruang tamu dengan wajah terkejut dan tangannya yang memegang nampan gemetaran tak menentu. Wajah Ryan pucat pasi. Dinda memandang Ryan dan Zahra secara bergantian.
“Zahra udah dengar semuanya, kak.”
“Maafin kakak, Ra. Kakak dan Ibu terpaksa merahasiakan semuanya dari kamu.”
“Kenapa kak? Kenapa harus dirahasiakan?” terlihat sedikit kilat kemarahan dimata gadis itu. Zahra meletakkan baki yang dibawanya di atas meja, lalu duduk di samping Ryan.
“Karena.. kakak dan ibu nggak mau kamu punya anggapan yang salah tentang papa kamu.”
Ryan dan Dinda saling berpandangan dan menghela napas panjang. Zahra diam. Matanya terlihat mulai berkaca - kaca.
“Jadi.. papa Zahra masih hidup, kak?”
Ryan mengangguk ragu dan takut. Zahra kembali diam untuk beberapa saat. Ryan dan Dinda ikut diam, tak berani bicara. Mendadak suasana hening mencekam menguasai ruang tamu kecil itu. Sampai akhirnya tanpa diduga…
“Alhamdulillah… ya Allah, Zahra masih punya ayah.. dan punya kakak.” gumam lirih itu meluncur dari bibir gadis itu. Ia menghambur memeluk Dinda.
“Alhamdulillah.. “ sambut Ryan dan Dinda. Lega.

…………bersambung ke bagian enam belas……………..

RB - KARAKTER TOKOH

TOKOH CERITA

 Dinda : Nama lengkap gadis ini sebenarnya adalah Adinda Putri Maharani. Do’I orangnya baik, pinter, sederhana, ga sombong, supel, baik, aktif and pokoknya Te O Pe banget deh!. Hobinya jalan – jalan, maklum anak tunggal ini ga punya kampung, alias jakarte aslee..! he.. he..). Kekurangannya, Doi mengidap TBC, penyakit pembunuh nomor dua di Indonesia!

 Fery : cowok keren mantan kakak kelas Dinda yang jadi rebutan temen – temennya. Maklum, cowok dengan tinggi 180 cm / 55 kg yang berkulit putih ini orangnya cool banget, meski agak sedikit – sedikit gengsian and mudah terpengaruh alias nggak konsisten! Dan salah satu sikapnya yang agak berbahaya adalah doi tuh tipe orang yang pendendam! Tapi, cowok ini sempat tergila – gila pada Dinda lho!


 Ryan&Zahra : Kakak beradik yang menjadi dewa penolong Dinda yang akhirnya jadi orang yang paling setia menemani Dinda dalam menghadapi hari – hari sulitnya. Ryan orangnya biasa aja dan cukup kalem,sedangkan Zahra orangnya ramah dan mudah akrab. Pokoknya mereka itu baii..ik banget. Selain itu, Mereka hanya tinggal dengan ibunya. Ryan orangnya mandiri and smart, makanya nggak heran kalo akhirnya dia diterima di teknik ITB, cool kan? Kekurangannya, ia selalu terbentur masalah ekonomi alias kurang mampu.

 Dinda’s Friends ;
Group 1:
- Anggi ; Cantik, modis, dan manja. Hobbinya suka gonta – ganti handpon dan simcard, hobbinya ngegosip. Sama seperti Fery, ia juga pendendam.
- Mia ; cantik, baik, tapi kalu disuruh suka melempar tanggung jawab ke orang lain.
- Selly ; cewek cantik dan imut ini tipe orang yang cepat kebakaran jenggot alias pemarahd dan cepat sewot.
- Desi ; cewek imut berambut pendek. Sifatnya rada – rada lugu dan polos, tapi hati – hati lho, doi juga cabe rawit nih kalo ngomong!
Group 2 :
- Nana&Agus ; teman satu kerja dengan Dinda. Keduanya sangat perhatian dan super baik sama Dinda. Cuma, Agus orangnya rada-rada bencis! Sedangkan Nana orangnya suka malu – malu kucing gitu deh!
 Selvy and The Gank : Saingan berat Dinda dalam segala hal, termasuk dalam pemilihan Siswa teladan.

 Pram : Ayah tersayangnya Dinda nih! Orangnya sebenernya tipe gila kerja, and cuek. Apalagi setelah ditinggal sama istrinya alias Bundanya Dinda. Tapi, sebenernya dia orangnya sabar, asyik, dan baik banget..Diam – diam bapak setengah baya ini memendam rahasia besar lho!

 Tante Tari : Pengusaha sukses yang juga adalah Ibu setengah baya yang masih awet muda dan Cantik. Orangnya lemah lembut dan baik. Sekarang ia menjalankan perusahaannya bersama suami ke duanya.

 Sintya : Perempuan misterius yang tiba – tiba muncul dalam kehidupan keluarga Dinda. Ia membuat Dinda bertanya – tanya tentang siapa Dia dan ada hubungan apa diantara ia dan ayahnya. Perempuan ini type orang yang lembut dan suka memendam rahasianya.